Daun Mint
Oleh: Dhea Adzana Putri
Kulangkahkan kakiku menuju ke
kamar mandi. Saat melewati dapur, kusenyumkan senyum termanis untuk Ibuku. Aha,
pastinya senyumanku mengalahkan manisnya gula pasir di dapur. Tanpa berpikir, Ibuku
membalas senyumku, tak peduli walaupun beliau sedang begitu sibuk dengan
tumbukan bumbu nasi goreng yang sudah meronta-ronta minta dipertemukan dengan
nasi dan telur.
“Berhasil bangun pagi? Selamat
nak. Sudah, cepatlah ambil air wudhu untuk salat subuh” kata Ibuku. Aku pun
mengangguk penuh kemantapan dan segera menuju kamar mandi.
***
“Baiklah.
Waktu habis, segera tinggalkan kelas dan suruh teman-temanmu absen 16 sampai 32
untuk masuk kelas” perintah guru Sejarahku.
Dahiku mengerut.
Keraguan dalam memilih jawaban dari soal ulangan Sejarah pagi ini menahanku
untuk mengumpulkan lembar jawabku. Tapi, mau tak mau aku harus mengumpulkannya
atau hal yang lebih buruk akan terjadi, yaitu lembar jawabku tidak diterima. Baiklah,
ketegangan berakhir, berapapun hasil ulangannya itu adalah hasil yang termaksimal
yang kukerjakan dengan kejujuran. Saat keluar kelas, kulihat seorang pemuda yang
belum pernah kulihat sebelumnya. Hal-hal aneh sempat terpikirkan di pikiranku.
Mungkinkah dia pangeran yang menyamar dan mencari pemilik sepatu kaca yang
tertinggal di istananya, atau dia orang yang disuruh mengantarkan jutaan uang
kepadaku sebagai hadiah dari perusahaan makanan ringan yang biasa aku beli,
atau dia orang yang ingin memberiku kabar duka, bahkan sempat terpikir olehku dia
adalah imajinasiku karena aku terlalu keras memikirkan ulangan Sejarah tadi.
“Mbak Sita
ya, ketua OSIS SMP ini kan?” Tanya pemuda yang duduk di kursi depan kelasku itu
begitu mantap seakan sudah menghafal betul ciri-ciriku.
Aku
mengangguk sambil tersenyum. Dia memperkenalkan diri, namanya Fajar, karena dia
lebih tua dari aku, kupanggil Mas Fajar. Ternyata Mas Fajar adalah perwakilan dari SuperCreative
Production bagian marketing yang hendak
menawarkan kerjasama mencetak buku tahunan untuk angkatanku. Entah darimana dia
bisa tahu aku adalah seorang ketua OSIS di sekolah. Kupahami kata-katanya.
Promosi dan penjelasan singkat kelebihan buku tahunan produksi SuperCreative
Production begitu dihafalkannya. Kemudian Mas Fajar mengulurkan sebuah contoh
buku tahunan kepadaku. Lalu kubuka satu per satu halamannya. Terlihat dengan jelas
senyuman kebahagiaan dari siswa-siswa yang ada di foto contoh buku tahunnya.
Kertas yang digunakan terasa dan terlihat begitu berkualitas. Desainnya pun
bervariasi. Rp160.000 adalah harga yang sesuai dan pantas jika melihat
hasilnya. Saat itu belum bisa kuputuskan apakah menyetujui tawarannya atau
tidak karena membuat buku tahunan pastinya membutuhkan persetujuan dari seluruh
siswa kelas 9A, 9B, 9C, 9D, 9E serta bapak/ibu guru. Akhirnya Mas Fajar
meninggalkan sebuah contoh buku tahunan dan kartu nama untukku.
***
Pelajaran
usai, ekspresi lega terukir di wajah kami, siswa-siswi kelas 9E. Rasa lelah dan
letih terbunuh begitu saja dengan senyuman dan candaan kami saat pulang
sekolah.
“Pergi ke Subang beli cincin,
pulang dulu ya ciiinnn. Assalamu’alaikum.” pamit Rara. Dia memang gemar berpantun.
Aku pun ikut pulang. Sepedaku pasti sudah menungguku dan siap mengantarku pulang ke
rumah.
***
Beberapa
hari kemudian, setelah contoh buku tahunan diedarkan ke kelas 9A sampai kelas
9E serta dilakukan voting, hasilnya adalah semua setuju membuat buku tahunan di
SuperCreative Production. Awalnya aku tak menyangka, tapi alhamdullilah semua
setuju. Aku dan panitia yang sudah dibentuk untuk mengurusi pembuatan buku
tahunan pun bergelora. Usaha kami untuk meyakinkan seluruh siswa dan siswi
berhasil. Harga yang tidak murah bisa diatasi dengan cara menabung di bendahara
kelas. Sekarang juga masih bulan September, masih ada hampir 9 bulan sampai
lulus SMP. Toh, buku tahunan juga hanya dibuat 3 tahun sekali dan akan bermanfaat
untuk 10 tahun, 25 tahun, bahkan semoga 50 tahun ke depan, hingga usia telah
usai.
“Udah Ta,
di sana aja nyetakinnya. Kita setuju kok. Sesuai namanya deh, SuperCreative
Production, super kreavif beneran. Aku udah bayangan nih mau berpose kayak apa
besok. Hemm…” kata Aulia padaku.
“Iya Sita,
aku juga setuju cucok deh sama kamu. Ya paling nggak kita bisa bikin something better daripada tahun
sebelumnya” tanggap Bella.
“Oke
temen-temen. Sip banget kalo kalian setuju” jawabku.
Banyak
tanggapan dan masukan yang diberikan kepada kami panitia pembuatan buku tahunan
yang terdiri dari Aku sebagai ketua panitia, Putra sebagai wakil ketua panitia,
Fetik dan Jaya sebagai wakil dari kelas 9A, Karin dan Damas sebagai wakil dari kelas 9B, Mariska
dan Fahri sebagai wakil dari kelas 9C, Karisma dan Reza sebagai wakil dari
kelas 9D, dan yang terakhir Tasya dan Rudisebagai wakil dari kelas 9E.
***
“Gimana Buk,
Pak? Kalau misalnya kata-kataku untuk meminta izin ke Ibu Kepala Sekolah kayak
gitu. Optimis di setujui nggak ya?” tanyaku pada Ibu dan Ayahku seusai makan malam.
“Kalau Ibuk yang jadi kepala
sekolah kamu, Ibuk pasti setuju nak. Itu tadi sudah sangat bagus. Lanjutkan
pokoknya!” jawab Ibuku sangat antusias.
“Nah, kalau Ayahmu ini jadi
presiden. Pasti Ayah beri gratis nak buku tahunan itu untuk sekolahan kamu”
canda Ayahku.
Kami semua tertawa. Aku sangat
bahagia mempunyai keluarga yang menyayangiku dan lingkungan sekolah yang
nyaman.
***
“Begitu ya
nak. Kamu memahami maksud Ibu kan?” Aku dan Putra mengangguk ragu-ragu. Lalu
kami keluar dari ruang kepala sekolah dengan senyuman palsu. Keringat dingin
keluar mengalir di dahiku. Aku juga melihat Putra menyembunyikan tangan yang gemetar.
Entah aku tak tahu bagaimana cara menjelaskan kepada SuperCreative Production dan
terlebih menjelaskan kepada teman-teman. Ibu Kepala Sekolah tak menyetujui
program kami untuk mecetak di SuperCreative Production.
Saat aku
dan Putra tiba di ruang pertemuan panitia pembuatan buku tahunan atau kami
sebut basecamp, wajah berseri-seri
menghadang kami. Seakan tak mau menerima berita negatif apapun. Aku duduk, lalu
Putra ikut duduk.
“Gimana
Sita? Bu Kepsek setuju kan? Jadi kita sudah bisa mengumumkan ke kelas-kelas
untuk menuliskan biodatanya di kertas dan dikumpulkan ke perwakilan kelas kan?”
tanya Karisma.
“Iya, kelas
9C juga udah nentuin temanya ni. Jadi nggak sabar aku” tambah Mariska.
“Kelas 9A
juga udah ini, tabungan juga udah mulai jalan. Pokoknya tahun ini kita bikin
sesuatu yang spesial. Sekolah nggak seberprestasi kita aja bisa kompak, masak
kita nggak bisa” tambah Jaya
“Sita,
Putra, kalian jawab kita dong. Jangan diem aja. Saking gembiranya ya?
Jangan-jangan sekolahan mau ngasih bantuan untuk nyetak buku tahunan ya? Kalian
sampe speechless gitu deh. Hayo…
ngaku!” tebak Tasya begitu bersemangat.
Astaga aku
hampir meledak. Aku dan Putra saling mengerutkan dahi dan menggelengkan kepala.
Kami bingung apa yang harus kami katakan. Mulut kami terkunci. Apakah kami
harus berbohong dan mengatakan bahwa Ibu Kepala Sekolah menyetujui pembuatan
buku tahunan di SuperCreative Production dan tetap menyetaknya di sana agar
teman-teman tidak kecewa? Tapi itu illegal. Ataukah kami harus mengatakan yang
sejujurnya, dan tega menyaksikan semuanya kecewa. Tega menyia-nyiakan konsep
yang telah di bahas selama ini? Tega membuang kerja keras kami untuk membujuk
teman-teman? Oh tidak, efeknya pasti separah bom Hiroshima dan Nagasaki.
“Semuanya
gagal. Gagal teman-teman. Bu Kepala Sekolah tidak mengijinkan. Katanya…” Putra
mengatakan yang sejujurnya mendadak.
“Putra!”
Teriakku memutus kata-katanya sebagai kode supaya Putra mengatakannya secara
perlahan.
“Sudahlah
Sita, untuk apa kita menutupi semuanya?”
Putra
mengatakan semuanya. Bu Kepala Sekolah tidak menyetujuinya karena harganya yang
terlalu mahal. Kata beliau, untuk apa buku tahunan yang mahal-mahal toh
akhirnya juga hanya digeletakkan. Lebih baik menyetakkan seperti di tahun
kemarin saja, hemat, tidak usah sok
glamor, harganya Rp70.000. Bu Kepala Sekolah tetap tidak merubah
keputusannya walaupun kami sudah menunjukkan perbedaan yang teramat sangat
jauh, mulai dari foto sampai pengepakan jika mencetakkan di SuperCreative
Production.
Sontak,
kulihat perubahan drastis di wajah teman-temanku. Mereka berteriak. Memprotes.
“Apa? Kita ini mau bikin
perubahan supaya sekolah kita bisa leih maju kenapa selalu ditahan. Ha? Kapan
kita bisa maju?”
“Ya Tuhan, ini bukan pertama
kalinya program yang bertujuan untuk memajukan sekolah tidak diizinkan”
“Mengenaskan”
“Memalukan”
Mendadak, suara keras teman-temanku perlahan
makin lirih dan makin melirih. Dadaku sesak, dan aku tak tau apa-apa lagi
setelah tak kudengar lagi suara temanku.
***
Aku
pingsan. Asmaku kambuh lagi dan aku tergeletak di UKS sekolah. Badanku terasa
lemas. Ini salahku, tidak bisa mengontrol diri untuk tetap tenang dan
menyebabkan nafasku tidak stabil. Tapi aku bersyukur, aku tidak mengalami
sesuatu yang membahayakan.
“Sita,
maafin aku ya. Aku nggak maksud bikin kamu sakit, aku cuma pengen…” kata-kata
Fetik terhenti, dia tak meneruskan kata-katanya sambil memegang tanganku. Tapi
aku memahami maksudnya. Aku mengangguk tersenyum.
“Aku juga
minta maaf ya Sita, kami minta maaf. Harusnya kami tidak berteriak seperti anak
kecil kayak tadi” tambah Karin sambil tersenyum.
“Terutama
aku Sita, harusnya nggak sefrontal itu bilang ke temen-temen. Oya tadi kita
udah telfon Ibuk kamu, sebentar lagi kamu dijemput Ta” kata Putra kepadaku.
“Iya,
gapapa kok semuanya. Cuma kambuh asmanya gini aku udah biasa, istimewanya hari
ini dapet bonus pingsang. Hehe” jawabku menghibur diri dan teman-teman.
Semua
teman-temanku tertawa kecil. Mereka lalu pamit karena sebentar lagi BimBelSes
yang merupakan singkatan dari bimbingan belajar sukses di sekolahku sudah akan
dimulai. Lalu aku mengangguk, dan menunggu Ibuk menjemputku di UKS sendirian.
Ah…saat itu aku sangat berharap sepedaku bisa berubah menjadi kasur terbang
yang bisa membawaku pulang ke rumah. Jadi tidak perlu merepotkan ibu.
Tiba-tiba,
ada suara ketukan pintu UKS. Kupikir itu Ibuku, ternyata Pak Ahmad, tukang
kebun di sekolahku. Pak Ahmad adalah salah satu dari orang-orang yang sangat
penting di sekolahku. Tanpa beliau, debu pasti mengerak di lantai dan kaca,
sampah juga akan menumpuk di tempat sampah hingga berlendir.
“Yang sabar
ya neng. Kamu sama teman-temanmu itu seperti daun mint. Walau kecil tapi bisa
memberikan kesejukan dan nafas baru untuk sekolah kita. Hanya, kalian itu daun
mint yang kecil. Kalian harus bersabar. Menunggu sampai daun mint besar dan
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk membuat perubahan yang lebih besar.”
Kutarik nafas
dalam-dalam. Aku tersenyum semanis madu.
Komentar
Posting Komentar