Halal Haram Dalam Islam
Aku
hanya manusia biasa yang tak mungkin bisa lepas dari dosa. Mungkin, kamu, dia,
dan mereka juga sama sepertiku. Dan kita harus senantiasa berusaha menjadi
orang yang lebih baik lagi, terutama lebih baik di mata Allah swt, Tuhan Yang
Maha Bijaksana. Kita memang makhluk social, yang tidak bisa hidup sendirian.
Tapi, tanpa Allah manusia juga bukanlah apa-apa. Kali ini, aku posting sebuah
artikel yang aku ambil dari http://mta-online.com
bagian download. Kalian bisa berkunjung ke website itu :D
Namun,
sebelumnya maaf, aku tidak bisa menampilkan Bahasa Arab-nya, hanya
terjemahannya saja. Soalnya ada sedikit masalah sama Ms.Word ku, pas nge-paste
Bahasa Arab dari Adobe Reader malah jadinya nggak jelas, kotak-kotak. Hehe *padahal
di Ms. Word ku udah ada Al-Qurannya… eh malah curhat. Lets cekidot … à
Perbedaan pendapat tentang makanan
yang diharamkan
1. Asal
tiap-tiap sesuatu adalah mubah
Islam
menetapkan bahwa asal sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nash yang sah dan tegas dari
syari’ (yang berwenang membuat hukum), yaitu Allah dan Rasul-Nya yang
mengharamkannya. Qaidah ushul mengatakan :
Asal tiap-tiap
sesuatu adalah mubah. [Ushul Fiqh]
Kalau tidak ada
nash yang sah atau tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut
tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah. Ulama-ulama Islam mendasari ketetapan
tersebut dengan dalil ayat-ayat Al-Qur’an, yang antara lain :
Dia lah yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. [QS. Al-Baqarah : 29]
Dan Dia telah
menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya,
(sebagai rahmat) daripada-Nya. [QS. Al-Jaatsiyah : 13]
Tidakkah kamu
perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang
di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan
bathin. [QS.
Luqman : 20]
Dari ayat-ayat
tersebut bisa kita ketahui bahwa Allah menjadikan apa saja yang ada di langit dan di bumi itu disediakan untuk manusia.
Sebenarnya
yang diharamkan dalam syari’at Islam itu sangat
sedikit, dan yang halal justru sangat
banyak. Karena nash-nash yang shahih dan tegas dalam hal haram jumlahnya
sangat sedikit. Sedang sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah
kembali kepada hukum asal, yaitu halal, dan termasuk dalam kategori yang
dima’afkan Allah.
Di dalam hadits
dijelaskan sebagai berikut :
Dari Abud
Dardaa’ RA, ia mengatakannya dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Apasaja yang
Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka hal itu adalah halal. Dan apasaja yang Ia
haramkan, maka hal itu adalah haram. Sedang apasaja yang Ia diamkan, maka hal
itu dibolehkan (ma’fu), oleh karena itu terimalah kema’afan dari Allah itu.
Sebab sesungguhnya Allah tidak lupa
sedikitpun.
Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat ini : Wa maa kaana robbuka nasiyyaa (Dan
Tuhan mu tidak lupa) – QS. Maryam : 64. [HR. Hakim juz 2, hal. 406, no. 3419]
Dari Salman
Al-Farisiy, ia barkata : Rasulullah SAW ditanya tentang (hukumnya) minyak
samin, keju dan keledai liar, maka beliau bersabda, “Yang halal adalah apa-apa
yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan yang haram adalah apa-apa yang Allah
haramkan dalam kitab-Nya. Sedang apa yang Ia diamkan, maka hal itu adalah
sesuatu yang Allah ma’afkan”.
[HR. Ibnu Majah
juz 2, hal. 1117, no. 3367, dla’if karena
dalam sanadnya ada perawi bernama Saif bin Harun]
Baihaqi
meriwayatkan sebagai berikut :
Dari Abu
Tsa’labah (Al-Khasyaniy) RA, ia berkata : Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
beberapa kewajiban, maka jangan kalian sia-siakan hal itu, dan Allah telah
memberikan beberapa batasan, maka jangan kalian melampauinya. Dan Allah telah
melarang sesuatu, maka janganlah kalian melanggarnya. Dan Allah telah
mendiamkan beberapa hal, sebagai kemurahan bagi kalian, bukan karena lupa, maka
jangan kalian bahas (perbincangkan) tentang hal itu.
[HR. Baihaqiy 10, hal. 13, hadits ini
mauquf]
Dari
hadits-hadits tersebut bisa kita ketahui bahwa asal segala sesuatu adalah halal, ini tidak hanya terbatas
dalam masalah benda saja, tetapi termasuk masalah perbuatan, yaitu yang biasa
kita isthilahkan dengan adat atau
mu’amalah. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali
sesuatu yang memang oleh syari’ sendiri telah diharamkan dan diterangkannya.
Firman Allah SWT :
Dan sungguh
Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.
[QS. Al-An’aam : 119]
Ayat
ini umum, meliputi soal-soal makanan, perbuatan dan lain-lain. Berbeda sekali
dengan urusan ibadah, karena ibadah semata-mata urusan agama yang tidak
ditetapkan melainkan dari jalan wahyu.
Untuk itulah maka terdapat dalam hadits Nabi SAW :
Dari ‘Aisyah,
ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya,
maka dia itu tertolak”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1343]
Dari ‘Aisyah,
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mengerjakan amalan (ibadah)
yang tidak ada padanya perintah kami, maka ia itu tertolak”.
[HR. Muslim juz 3, hal. 1344]
Hal ini karena
hakikat agama atau ibadah itu tercermin dalam dua hal,yaitu :
1. Hanya Allah
lah yang disembah.
2. Untuk
menyembah Allah, hanya dapat dilakukan menurut apa yang disyari’atkan-Nya.
Oleh
karena itu barangsiapa mengada-adakan
suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya sendiri, apapun macamnya, adalah
suatu kesesatan yang harus ditolak.
Sebab hanya Allah dan Rasul-Nya yang berhaq mengadakan cara ibadah yang dapat
dipakai untuk bertaqarrub kepada-Nya. Adapun masalah adat dan mu’amalat,
sumbernya bukan dari syari’, tetapi justru manusia itu sendiri yang menimbulkan
dan mengadakan. Dalam hal ini syari’ hanya membetulkan, meluruskan, mendidik
dan mengakui, kecuali dalam beberapa hal yang memang membawa kerusakan dan
madlarat, maka syari’ pasti melarangnya. Jadi, pokok dalam urusan ibadah hanya
bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Jika tidak demikian, berarti kita
akan termasuk dalam apa yang disebutkan Allah :
Apakah mereka
mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah ?. [QS. Asy-Syuuraa : 21]
Sedang dalam
persoalan adat, prinsipnya boleh. Tidak satupun yang terlarang kecuali yang
memang telah diharamkan. Jika tidak
demikian, maka kita akan termasuk dalam apa yang difirmankan Allah :
Katakanlah,
“Terangkanlah kepadaku tentang rezqi yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu
jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah, “Apakah Allah
telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah ?”. [QS.Yuunus : 59]
Dengan
dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan sewamenyewa sesuka
hatinya, selama hal itu tidak diharamkan oleh syara’. Begitu juga boleh makan
dan minum sesukanya, selama tidak diharamkan oleh syara’, sekalipun sebagiannya
kadang-kadang disunnatkan dan adakalanya dimakruhkan. Sesuatu yang oleh syara’
tidak diberinya batasan, maka kita dapat menetapkan kemuthlaqan hukum asal. Prinsip
di atas sesuai dengan apa yang disebut dalam satu riwayat yang diriwayatkan
oleh Muslim, dari Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata :
Kami pernah
melakukan ‘azl, sedang waktu itu Al-Qur’an masih turun. Sufyan berkata,” Jika
hal tersebut dilarang, tentu Al-Qur’an melarangnya”.
[HR. Muslim juz 2, hal. 1965]
Ini menunjukkan
bahwa apasaja yang didiamkan oleh wahyu, tidaklah terlarang, manusia bebas
untuk mengerjakannya, sehingga ada nash yang melarang atau mencegahnya.
Dan dengan ini
pula, ditetapkan suatu qaidah, “Soal
ibadah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan syari’at yang ditetapkan Allah.
Dan suatu adat tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan dari Allah”.
2. Menentukan
halal-haram semata-mata haq Allah
Islam
telah memberikan batas wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan
melepaskan haq tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan
manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawinya. Hak tersebut semata-mata
di tangan Allah, bukan di tangan para ulama, bukan para pendeta, bukan raja dan
bukan sultan yang berhak menentukan halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian,
berarti telah melanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan
perundang-undangan untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yang menerima serta
mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai
sekutu Allah.
Firman Allah
SWT :
Apakah mereka
mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah ?. [QS. Asy-Syuuraa : 21]
Mereka
menjadikan orang-orang ‘alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, dan juga mereka mempertuhankan Al-Masih putra Maryam. Padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. [QS. At-Taubah : 31]
Tirmidzi
meriwayatkan sebagai berikut :
Dari ‘Adiy bin
Hatim, ia berkata : Saya pernah datang kepada Nabi SAW, sedang waktu itu saya
memakai kalung salib terbuat dari emas, maka Nabi SAW bersabda, “Hai ‘Adiy,
buanglah berhala itu darimu!”. Dan saya pernah mendengar beliau membaca surat
Bara’ah (yang artinya) “Mereka menjadikan orang-orang ‘alimnya dan rahib-rahib
mereka sebagai tuhantuhan selain Allah”. [Bara’ah
: 31]
Beliau bersabda,
Ketahuilah, sesungguhnya mereka itu tidak menyembahnya, tetapi mereka itu
apabila orang-orang ‘alimnya dan rahib-rahib mereka menghalalkan sesuatu, merekapun
menganggapnya halal, dan apabila orang-orang ‘alim dan rahibrahib mereka
mengharamkan sesuatu, merekapun menganggapnya haram.
[HR. Tirmidzi juz 4, hal. 341, no.
3093]
Dari
beberapa ayat dan hadits tersebut di atas, kita mengetahui bahwa hanya Allah
lah yang berhaq menentukan halal dan haram, baik dalam kitab-Nya (Al-Qur’an)
ataupun melalui lidah Rasul-Nya (Sunnah). Tugas kita tidak lebih hanya sekedar
menerangkan hukum yang telah ditetapkan Allah tentang halal dan haram itu, Jadi,
tentang urusan keduniaan asalnya adalah boleh, kecuali jika ada dalil yang
mengharamkannya. Adapun tentang ibadah, asalnya adalah dilarang, kecuali jika
ada perintah atau tuntunannya.
3. Keadaan
dlarurat dan pengecualiannya.
Firman Allah :
Dan Allah telah
menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa
kamu memakannya. [QS. Al-An'aam : 119]
Dan di ayat
lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan
sebagainya, kemudian diikutinya dengan firman-Nya :
Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.. [QS. Al-Baqarah : 173]
Dlarurat yang
sudah disepakati oleh semua ulama ialah dlarurat dalam masalah makanan, karena
kelaparan. Jadi orang yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak mendapatkan
makanan kecuali makanan yang diharamkan itu, maka diwaktu itu dia boleh
memakannya sekedar untuk
menjaga diri
dari bahaya kebinasaan.
Perkataan Ghaira
baaghin maksudnya : Tidak mencari-cari alasan untuk memenuhi
keinginannya. Sedang yang dimaksud dengan walaa 'aadin, yaitu
seperti yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya dengan tegas :
Maka
barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Maidah : 3]
4. Tidak
dianggap dlarurat orang yang berada dalam masyarakat yang di situ ada sesuatu
yang dapat mengatasi keterpaksaannya.
Tidak
termasuk dlarurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila
di masyarakat itu ada kaum muslimin yang mempunyai makanan yang dapat untuk
mengatasi keterpaksaannya itu. Karena prinsip masyarakat Islam harus ada saling
tolong-menolong dan perasaan saling bertanggung-jawab dan bersatu padu bagaikan
satu tubuh atau satu bangunan, yang satu dengan yang lain saling
kuat-menguatkan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
Dari Abu Musa,
ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Orang mukmin satu dengan yang
lainnya adalah seperti satu bangunan, yang sebagiannya menguatkan sebagian yang
lain". [HR.
Muslim juz 4, hal. 1999]
Dari Anas bin
Malik RA, ia berkata : "Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah beriman
kepadaku orang yang bermalam dalam keadaan kenyang sedang tetangganya lapar,
padahal ia mengetahui". [HR. Thabrani dalam Al-Kabir juz 1, hal. 259, no. 751]
5.
Tentang makanan yang haram bagi ummat Islam
Firman Allah
SWT :
Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena
semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. [QS. Al-An’aam : 145]
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa
yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Tetapi barangsiapa yang
terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak melampaui batas, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[QS. An-Nahl : 115]
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
[QS. Al-Baqarah : 173]
Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam
itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa
sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[QS. Al-Maaidah : 3]
Keempat
ayat di atas, 2 diturunkan sebelum hijrah Nabi SAW, jadi termasuk ayat-ayat
Makkiyah, yaitu ayat 145 surat Al-An’aam dan ayat 115 surat An- Nahl. Sedangkan
2 ayat yang lain, yaitu 173 surat Al-Baqarah dan ayat 3 surat Al-Maaidah
termasuk ayat-ayat Madaniyah, kesemuanya menjelaskan bahwa makanan yang
diharamkan Allah bagi ummat Islam hanyalah :
1. bangkai,
2. darah,
3. daging babi, dan
4. Sembelihan yang disembelih dengan disebut (nama) selain
Allah.
Inilah
empat macam makanan yang diharamkan oleh Allah berdasar keempat firman-Nya di
atas. Adapun antara ayat 3 Al-Maaidah yang menetapkan 10 macam binatang yang
haram, dengan ayat 145 Al-An’aam, ayat 115 An-Nahl dan ayat 173 Al-Baqarah yang
menetapkan 4 macam itu, sama sekali
tidak bertentangan. Karena ayat 3 surat Al-Maaidah tersebut merupakan
perincian dari tiga ayat yang lain yang telah disebutkan di atas. Binatang yang
dicekik, dipukul, jatuh dari atas, ditanduk dan karena dimakan binatag buas,
semuanya adalah termasuk dalam pengertian bangkai. Jadi semua itu sekedar
perincian dari kata bangkai. Begitu
juga binatang yag disembelih untuk berhala, adalah semakna dengan yang disembelih
dengan disebut (nama) selain Allah, Jadi kedua-duanya mempunyai pengertian yang
sama. Ringkasnya, secara global (ijmaliy) makanan yang diharamkan itu ada empat
macam, dan kalau diperinci bisa menjadi sepuluh, sebagaimana pada surat
Al-Maaidah ayat 3 tersebut.
6. Ikan dan
belalang dapat dikecualikan dari bangkai.
Ada dua
binatang yang dikecualikan oleh syari’at Islam dari kategori bangkai, yaitu
belalang dan ikan (dan sebangsanya), berdasarkan riwayat sebagai berikut :
Dari 'Abdullah
bin Abi 'Aufaa, ia berkata, "Kami pernah tujuh kali ikut berperang bersama
Rasulullah SAW dan kami makan belalang". [HR. Muslim juz 3, hal. 1546]
Dari 'Abdullah
bin 'Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Dihalalkan bagi kalian dua
bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedangkan
dua darah yaitu hati dan limpa". [HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1101,
no. 3314, dla'if karena dalam sanadnya ada perawi bernama 'Abdur Rahman
bin Zaid]
Dan firman
Allah SWT :
Dihalalkan bagi
kamu binatang buruan laut dan makanannya. [QS. Al- Maaidah : 96]
Dari Abu
Hurairah, ia berkata : Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, ia
berkata, "Sesungguhnya kami biasa berlayar dan kami membawa bekal air
tawar hanya sedikit. Jika kami berwudlu dengan air tersebut maka kami bisa
kehausan. Maka bolehkah kami berwudlu dengan air laut ?". Rasulullah SAW
menjawab, "Laut itu suci airnya dan halal bangkainya".
[HR. Darimiy juz 1, hal. 186, no. 711]
Rasulullah
SAW pernah mengirim satu pasukan, kemudian mereka itu menemukan seekor ikan
besar yang sudah mati. Ikan itu kemudian dimakan selama setengah bulan. Setelah
mereka tiba di Madinah, diceritakanlah hal tersebut kepada Nabi SAW, maka
beliau bersabda : “Makanlah sebagai rezqi yang telah Allah keluarkan untuk
kalian”, sebagaimana riwayat berikut
Dari Jabir RA,
ia berkata : Kami pernah berperang yakni pada Pasukan Khabath (pasukan ini
dinamakan pasukan Khabath, karena kelaparan sehingga memakan daun-daun
khabath/daun salam), sedang Abu 'Ubaidah diangkat sebagai pemimpinnya. Lalu
kami tertimpa kelaparan yang sangat. Kemudian air laut mendamparkan ikan yang
sangat besar yang telah mati yang kami belum pernah melihat ikan seperti itu,
yaitu ikan 'Anbar (paus), lalu kami memakannya selama setengah bulan. Kemudian
Abu 'Ubaidah mengambil (dua) tulang rusuknya (lalu ditegakkan) dan menyuruh seseorang
mengendarai untanya lewat di bawahnya (dan ternyata tidak sundul). Abu Zubair
mengkhabarkan kepadaku bahwa ia mendengar Jabir berkata : Abu 'Ubaidah berkata,
“Makanlah kalian !”. (Maka kami memakannya). Setelah kami tiba di Madinah, kami
menceritakan hal itu kepada Nabi SAW, lalu beliau bersabda, “Makanlah rezqi
yang dikeluarkan oleh Allah, dan berilah kami jika masih ada”. Maka sebagian
dari mereka memberikan kepada beliau, lalu beliau pun memakannya”.
[HR. Bukhari juz 5, hal. 114]
Di
depan telah jelaskan bahwa makanan yang diharamkan oleh Allah hanyalah empat
macam, yaitu : bangkai, darah, daging babi dan sembelihan yang ketika
disembelih disebut (nama) selain Allah (sembelihan bukan karena Allah). Adapun
makanan yang diharamkan atau larangan dalam hadits, hukumnya hanyalah makruh (apabila dilakukan tidak
berdosa, apabila ditinggalkan berpahala). Namun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa selain empat macam
yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yang dilarang di dalam haditspun haram pula
kita memakannya. Hadits-hadits tersebut sebagai berikut :
Larangan
memakan keledai jinak :
Dari Ibnu ‘Umar
RA, (ia berkata), “Nabi SAW melarang (memakan) daging himar jinak pada perang
Khaibar”. [HR. Bukhari juz 6,
hal. 229]
Dari Jabir bin
‘Abdullah, ia berkata, “Nabi SAW pada perang Khaibar melarang memakan daging
himar (jinak), dan membolehkan memakan daging kuda”.
[HR. Bukhari juz 6, hal. 230]
Dari ibnu
Syihab bahwasanya Abu Idris mengkhabarkan kepadanya bahwa Abu Tsa’labah
berkata, “Rasulullah SAW mengharamkan daging himar jinak”. [HR. Bukhari juz 6, hal. 230]
Dari Anas bin
Maalik RA bahwasanya Rasulullah SAW kedatangan seorang laki-laki, lalu ia
berkata, “Himar-himar banyak dimakan”. Lalu datang lagi seorang laki-laki, lalu
ia berkata, “Himar-himar banyak dimakan”, lalu datang lagi seorang laki-laki,
lalu ia berkata, “Himar-himar hampir habis”. Maka beliau menyuruh seorang
penyeru untuk menyerukan kepada orang
banyak,
“Sesungguhnya Allah dan rasul-Nya melarang kalian memakan daging himar jinak,
karena hal itu kotor”. Oleh karena itu orang-orang lalu menumpahkan
periuk-periuk yang berisi daging (himar) yang dimasak tersebut. [HR. Bukhari juz 6,hal. 230]
Dari Syaibaniy,
ia berkata : Saya bertanya kepada ‘Abdullah bin Abu Aufa tentang daging keledai
jinak, lalu dia menjawab, “Ketika kami bersama Rasulullah SAW pada perang
Khaibar, kami ditimpa kelaparan, sedangkan kami mendapati keledai-keledai
kepunyaan kaum tersebut (lari) keluar dari kota, lalu kami menangkapnya,
kemudian kami menyembelihnya. Sungguh
ketika
periuk-periuk kami telah mendidih (daging sudah dimasak), tiba-tiba ada utusan
Rasulullah SAW yang menyerukan, “Tumpahkanlah periuk-periuk kalian, dan
janganlah kalian makan daging keledai tersebut sedikitpun”. Lalu saya
(Syaibaniy) bertanya, “Beliau mengharamkannya dengan pengharaman yang bagaimana
?”. (Abu ‘Aufa) berkata, “Lalu kami
saling
bertanya-tanya diantara kami, ada yang mengatakan bahwa beliau mengharamkannya
selama-lamanya, dan ada juga yang mengatakan bahwa beliau mengharamkannya
karena keledai-keledai itu belum dibagi”. [HR. Muslim juz 3, hal. 138]
Dari Al-Baraa’
bin ‘Aazib, ia berkata : Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk membuang
daging-daging keledai jinak yang masih mentah maupun yang sudah matang.
Kemudian beliau tidak menyuruh kami untuk memakannya”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1539]
Dari Salamah
bin Akwa’, ia berkata : Kami pernah keluar bersama Rasulullah SAW ke Khaibar,
kemudian Allah menaklukkannya untuk kemenangan mereka (kaum muslimin). Ketika
sore harinya penaklukan Khaibar tersebut pasukan muslimin banyak menyalakan api.
Maka Rasulullah SAW bertanya, “Api apa ini ? Untuk apa kalian menyalakan api?”.
Jawab mereka, “Untuk memasak daging”. Beliau bertanya, “Daging apa?”. Mereka
menjawab, “Daging keledai jinak”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Tumpahkanlah
daging-daging itu dan pecahkanlah periuknya”. Lalu ada seorang laki-laki
bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana kalau kami tumpahkan isinya saja, lalu kami
cuci periuknya ?”. Beliau menjawab, “Begitu juga boleh”.
[HR. Muslim juz 3, hal. 1540]
Larangan makan
binatang buas yang bertaring :
Dari Abu
Tsa'labah RA, bahwasanya Rasulullah SAW melarang memakan setiap binatang buas
yang mempunyai taring”. [HR. Bukhari juz 6, hal. 230, dan Muslim juz 3, hal. 1533]
Dari Ibnu
'Abbas, ia berkata, "Rasulullah SAW melarang memakan setiap binatang buas
yang bertaring dan setiap burung yang berkuku tajam". [HR. Muslim juz 3, hal. 1534]
Bahkan diantara
‘ulama ada yang berpendapat bahwa :
Semut, tawon,
burung hud-hud dan burung suradi, haram pula kita memakannya, karena kita
dilarang untuk membunuhnya, sedang (biasanya) tidak dapat memakannya kecuali
harus dibunuh terlebih dahulu. Juga, binatang-binatang yang kita disuruh
membunuhnya, seperti ular, gagak (yang ada warna putih di punggung dan
dadanya), tikus, anjing galak dan burung elang, inipun haram juga bagi ummat
Islam memakannya, dan katak, haram pula memakannya, karena ketika seorang
thabib/ahli kesehatan mengatakan bahwa diantara campuran obatnya adalah katak, maka
Rasulullah SAW melarang kaum muslimin untuk membunuhnya.
Alasan yang
mereka kemukakan itu sebagai berikut :
Dari Ibnu
‘Abbas, ia berkata : Rasulullah SAW telah melarang membunuh empat macam
binatang : 1. semut, 2. tawon, 3. burung hud-hud, 4. Burung suradi.
[HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 28, no.
3224]
Dari ‘Aisyah
RA, dari Nabi SAW bahwasanya beliau bersabda, “Ada lima macam binatang jahat
yang boleh dibunuh di tanah halal maupun di tanah haram : 1. Ular, 2. Burung
gagak belang (putih bagian punggung dan dadanya), 3. Tikus, 4. Anjing galak,
dan 5. Burung elang”. [HR. Muslim juz 2, hal. 856]
Dari ‘Aisyah
RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Ada lima macam binatang jahat yang
boleh dibunuh di tanah haram : 1. Kalajengking , 2. Tikus, 3. Burung elang, 4.
Burung gagak, dan 5. Anjing galak”. [HR. Muslim juz 2, hal. 857]
Dari ‘Abdur Rahman
bin ‘Utsman Al-Qurasyiy bahwasanya ada seorang thabib bertanya kepada Nabi SAW
tentang katak yang ia menjadikannya campuran ramuan obat, maka Nabi SAW
melarang (kaum muslimin) membunuh katak. [HR, Abu Dawud juz 4, hal. 7, no. 3871]
Dan ada pula
yang berpendapat bahwa binatang yang
oleh manusia dianggap kotor/jijik, maka haram pula hukumnya, berdasarkan firman
Allah (dalam menerangkan sifat Nabi SAW) :
….dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk ….. [QS. Al-A’raaf : 157]
Dan alasan ini mereka perkuat dengan hadits berikut :
Dari ‘Isa bin
Numailah, dari ayahnya, ia berkata : Dahulu saya pernah berada di sisi Ibnu
‘Umar, lalu ia ditanya tentang landak, maka dia menjawab dengan membacakan ayat
145 surat Al-An’aam (yang artinya) Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan
kepadaku,
sesuatu yang diharamkan …..sampai akhir ayat”. Maka orang tua yang berada di
situ berkata : Saya pernah mendengar Abu Hurairah berkata : Ada seorang yang
bertanya tentang hukumnya landak kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda,
“Sesungguhnya landak itu salah satu diantara binatang yang kotor”. Lalu Ibnu
‘Umar berkata, “Jika Rasulullah SAW telah bersabda demikian, maka landak itu
sebagaimana yang beliau sabdakan yang tadinya kami belum tahu”.
[HR. Abu Dawud juz 3, hal. 354, no. 3799, dla’if karena Numailah dan bapaknya majhul]
Demikianlah
tentang haramnya makanan, ‘ulama berbeda
pendapat tentang hal tersebut, sehingga terjadi dua pendapat :
Pendapat
pertama, menyatakan bahwa yang haram hanyalah
4 macam
Makanan yang
disebutkan di dalam Al-Qur’an, yaitu : bangkai, darah, daging babi dan
sembelihan yang ketika disembelih disebut (nama) selain Allah (sembelihan bukan
karena Allah). Adapun larangan atau pengharaman yang ada di dalam hadits-hadits
hukumnya hanyalah makruh, yang kalau
dilakukan tidak berdosa, dan apabila ditinggalkan berpahala.
Pendapat kedua,
menyatakan bahwa yang haram adalah apa-apa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an
dan ditambah apa-apa yang disebutkan di dalam hadits Nabi SAW.
Walloohu a’lam.
kalo bisa kasih dalam bahasa arabnya juga ya...
BalasHapus(-_-!!)
@Anonim : iya, besok aku usahain
BalasHapussoalnnya kemarin aku coba copas nggak mau eh, malah kotak2