Cinta Sejati Part II-Pacaran Itu Boleh Nggak/Tidak?-Islam Memandang Pacaran
Hallo :D Bebepara waktu yang lalu aku sudah posting "cinta sejati", sekarang aku ada artikel cinta sejati part II, hehe. Tulisan ini aku ambil dari : mta-online.com
Hanya berbagi~
Mungkin, sebagian besar dari kita akan berpikir, bagaimana mungkin kita akan menikah dengan orang yang tidak kita kenal sebelumnya? Kita tidak tahu bagaimana sesungguhnya ia, selain hanya profil singkat yang tertulis di selembar kertas berikut foto close-up yang diberikan kepada pimpinan untuk dita’arufkan.
Hanya berbagi~
Mungkin, sebagian besar dari kita akan berpikir, bagaimana mungkin kita akan menikah dengan orang yang tidak kita kenal sebelumnya? Kita tidak tahu bagaimana sesungguhnya ia, selain hanya profil singkat yang tertulis di selembar kertas berikut foto close-up yang diberikan kepada pimpinan untuk dita’arufkan.
Lalu dari profil berikut foto tersebut kita dipertemukan secara langsung dengannya bersama pimpinan. Tak
banyak obrolan yang bisa diobrolkan dalam ta’aruf tersebut. Obrolan
hanya berlangsung beberapa menit saja, dan setelah itu sang pimpinan
meminta kepada yang dita’arufkan untuk memberikan jawabannya dalam tempo
waktu yang amat singkat, satu atau dua minggu saja.
Tentu, dalam mencari pasangan hidup tidak semua orang akan mau diatur
dengan aturan seperti ini. Cara seperti ini dinilai kurang bisa
mendekatkan antar calon pasangan yang seharusnya saling mengenal satu
sama lain sebelum menapak ke gerbang pernikahan. Mereka berpendapat,
dengan saling mengenal satu sama lain inilah diharapkan segala problema
yang terjadi saat menikah nanti dapat dilampaui dengan baik karena
keduanya sudah tahu sifat dan karakternya masing-masing.
Karena alasan inilah, banyak dari kita memilih untuk melirik
budaya pacaran yang biasa dilakukan oleh masyarakat bebas. Memang, tidak
semua mutlak meniru gaya pacaran mereka: kencan di malam minggu,
bergandengan tangan, berpelukan dan sebagainya. Gaya pacaran hanya
sebatas via sms, FB atau mungkin hanya telpon-telponan saja tanpa pernah
ketemuan kecuali bertemu secara tidak sengaja (atau mungkin malah
disengaja) dalam acara-acara semisal pengajian, seminar dan sebagainya.
Alasan mereka hanyalah untuk lebih mengenal saja, agar nantinya ketika
sudah mantap berumah tangga si calon pasangan sudah tahu siapa dan
bagaimana calon pasangannya.
Lalu apakah melalui proses mengenal satu sama lain sebelum menjejaki
bahtera rumah tangga ini bisa menjadi jaminan bahwa kelak rumah
tangganya akan lebih harmonis? Jawabannya, jelas belum tentu. Jika
alasan mereka karena takut terjadi perceraian lantaran belum mengenal
sebelumnya, toh di luar sana banyak kasus yang bertahun-tahun pacaran
tetapi baru beberapa bulan menikah justru sudah cerai. Pada faktanya,
banyak hal dari mereka yang justru baru terbuka ketika sudah menikah.
Sebelum menikah, yang ditunjukkan hanyalah yang baik-baik saja sementara
yang buruk-buruk justru disembunyikan. Karena ketidakterusterangan
inilah yang kemudian memunculkan prahara saat sudah mengikat janji setia
dalam mahligai pernikahan.
Sebetulnya, apa yang selama ini mereka khawatirkan-takut jika nanti
terjadi perceraian jika menikah dengan orang yang tidak dikenali
sebelumnya-tidak sepenuhnya terbukti. Toh, banyak pasangan yang tidak
kenal sebelumnya justru sampai sekarang adem ayem. Padahal mereka ini
hanya tukar foto dan profil, lalu dipertemukan sekali untuk dita’arufkan
dengan didampingi pimpinan/ murabbi/ guru ngaji. Setelah memberikan
jawabannya untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan, mereka juga tidak
saling bertukar sapa hingga ijab qobul tiba.
Lalu, apa yang menjadikan pernikahan mereka bertahan hingga kini?
Padahal, mereka tidak pacaran sebelumnya, atau paling tidak ta’aruf dulu
lewat sms, FB, dan sebagainya sebelum nanti memutuskan untuk menikah?
Menikah karena Allah
Yah, karena mereka menikah karena Allah. Karena Allah-lah, mereka
menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah dan apapun keputusan-Nya
pastilah yang terbaik untuknya. Dengan kemantapan hati lewat istikharoh
dan kemudian tawakal’alallah mereka yakin sepenuhnya atas pilihan Allah tersebut. Dengan keyakinannya akan firman-Nya yang artinya,
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji
(pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan
laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…” [QS. An-Nuur [24] : 26]
Mereka yakin jika seseorang yang akan bersamanya kelak adalah orang
yang mempunyai tujuan sama yakni sama-sama berjalan di jalan yang
diridhai Allah. Jika tidak, Allah pasti akan menjauhkan mereka dan
mengganti dengan yang lebih baik. Dari ayat diatas sudah jelas bahwa
Allah tidak mungkin menjodohkan mereka dengan orang yang senang berbuat
maksiat sedang mereka sendiri sangat menjauhi segala perbuatan maksiat.
Lagipula, yang mempertemukan mereka adalah pimpinan di tempat
ngajinya. Seorang pemimpin pastilah akan bertanggung jawab penuh dalam
menjodohkan murid/ anggotanya dengan anggotanya yang lain.
Biarpun tidak saling bertukar sapa (kecuali saat dipertemukan bersama
pimpinan), toh mereka bisa bertanya tentang bagaimana ia lewat pimpinan
yang mempertemukan tersebut atau sumber yang bisa dipercaya lainnya. Di
samping itu, saat dipertemukan bersama pimpinan, mereka juga bisa
mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai pertimbangan saat memberikan
jawaban apakah akan berlanjut (ke jenjang pernikahan) atau tidak.
Lalu, bagaimana jika mereka belum menaruh hati dengan si calon
pasangannya? Bagaimana pula jika sudah menikah nanti, mereka tak jua
bisa mencintai pasangannya? Tak perlu risau, karena Allah berjanji akan
menumbuhkan cinta dan kasih sayang dalam pernikahan selama pernikahan
tersebut didasari atas kecintaan kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya yang
artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” [QS. Ar Ruum [30] : 21]
Inilah yang membuat pernikahan mereka justru bertahan hingga
sekarang. Setidaknya anggapan bahwa untuk menikah si calon pasangan
seharusnya melakukan pendekatan untuk saling mengenal satu sama lain
terlebih dahulu (baca: pacaran) mutlak tidak terbukti. Bagaimanapun,
pacaran dari sisi apapun tak ada manfaatnya, kecuali bagi orang-orang
yang ogah dituntun dalam syariat Islam. Lalu bagaimana dengan “ta’aruf”
sendiri?
“Ta’aruf”!?
Penulis memang sengaja memberi tanda kutip pada kata “ta’aruf”
diatas. Ta’aruf pada arti umum adalah perkenalan. Ta’aruf sendiri lebih
dikenal sebagai proses saling mengenal antara laki-laki dan perempuan
sebelum menikah. Proses ini tidak sama dengan pacaran. Prosesnya selalu
dimediasi oleh perwakilan dari kedua belah pihak (pimpinan, guru ngaji,
atau juga orangtua).
Namun sayangnya, kata
“ta’aruf” disini seringkali disalahgunakan. Banyak ikhwan abal-abal yang
mendekati para akhwat dengan kedok “ta’aruf”. Si ikhwan gadungan
ini mencoba ber-”ta’aruf”-an dengan si akhwat tanpa melibatkan satupun
perantara diantara mereka. Mulanya PDKT terlebih dahulu lewat sms dengan
bertanya sesuatu yang penting-penting dulu (walaupun sebetulnya hanya
dipenting-pentingkan), semisal tanya tugas kampus, seputar amanah di
organisasi kampus dan sebagainya. Lalu, mengambil hati si akhwat dengan
rutin mengirimkan sms tausiah, rajin membangunkan shalat malam (walaupun
setelah sms kembali tidur lagi), mengingatkan untuk segera shalat
(sedang dia sendiri malah asyik main game) dan hal-hal baik lainnya agar
si akhwat pujaan bisa jatuh hati dengannya.
Tanpa disadari, obrolan mereka (masih lewat sms) mengarah ke hal
pribadi. Sikap terbukanya si akhwat ini membuat si ikhwan semakin berani
untuk sekadar bertanya, “Sudah makan belum?” lalu ditambah dengan
kalimat yang bernada mengingatkan dan sarat dengan perhatian, “Cepat
makan sana! Nanti sakit loh!”
Saking asyiknya smsan, obrolan dua insan berbeda gender ini kemudian melebar hingga telpon-telponan. Mengingat mereka ini tidak rumongso
(merasa) pacaran melainkan hanya ber-”ta’aruf”-an, maka yang
diobrolkanpun juga ada bau-bau agama semacam isian tausiah dari kajian
yang baru saja diikuti dan sebagainya.
Coba kita telaah apa yang penulis tulis diatas. Memang, dari kata
yang digunakan jelas sangat berbeda dengan pacaran. Apalagi bagi
sebagian orang memandang, kata “ta’aruf” ini lebih terlihat “Islami”.
Tetapi, betulkah “ta’aruf” seperti yang tersebut diatas adalah sesuai
dengan tuntunan Islam?
Jika ada seorang ikhwan mendekati akhwat tanpa ada perantara diantara
mereka, maka yang jadi pertanyaan sekarang, siapa yang ketiga di antara
mereka? Asyik smsan, telpon-telponan tanpa ada yang ketiga diantara
mereka (selain syaitan), bukankah ini namanya taqrobuzzina?
Entah itu “ta’aruf” (masih dalam tanda kutip), pacaran atau apapun namanya jika mengarahnya ke taqrobuzzina,
bukankah kita sebagai orang beriman dilarang oleh Allah mendekati zina?
Ta’aruf yang aman adalah melibatkan perantara entah pimpinan, murabbi
atau guru ngaji. Tidak perlu risau, meskipun tak mengenal sebelumnya.
Toh, proses perkenalan yang nanti mengarah ke gerbang pernikahan ini
selalu dilakukan bersama perantara yang InsyaAllah akan terjauhkan dari kemaksiatan.
Tak perlu juga malu, jika banyak yang mengatakan cara seperti itu
adalah cara yang sudah kuno. Dan jangan mudah goyah, jika mereka juga
mengatakan bahwa yang modern adalah dengan pacaran dulu. Biarlah mereka
mengatakan kuno atau tidak modern atau mungkin ada juga yang mengatakan
tidak “laku” (karena tidak punya pacar), toh Allah tidak melihat
hamba-Nya dari kacamata kuno, tidak modern atau tidak laku, karena Dia
hanya melihat hamba-Nya lewat ketakwaannya.
Sayangnya, banyak penulis jumpai, mereka yang awalnya melibatkan
perantara, setelah dita’arufkan dengan seseorang-yang kemudian menjadi
calon pasangannya-justru saling berhubungan satu sama lain tanpa ada
lagi perantara diantara mereka. Mungkin, sebagian orang berpendapat,
“Dia kan calonnya. Toh, nanti dia akan jadi suami/istrinya.”
Tetapi, bukankah itu baru calon? Suatu waktu bisa saja berubah jika
Allah menghendaki yang lain bukan? Jika ada sesuatu yang penting untuk
dibicarakan, alangkah lebih amannya untuk selalu melibatkan perantara
agar terjauhkan dari segala bentuk kemaksiatan. Semoga bermanfaat.
Dhea copas juga nich...
BalasHapuswkwkwkwk :)
bukan copas mirr, aku cuma ngambil
BalasHapuswkwkwkw *podo wae deng
soalnya yang beginian juga pernah aku buat note di FB